Becca Zone, Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) Triyono Prijosoesilo mengatakan kinerja industri minuman ringan di Indonesia akan menurun pada tahun 2023. Meski demikian, ada dua produk yang terus menunjukkan tren pertumbuhan positif dengan mendominasi penjualan produk minuman kemasan di Indonesia, yakni air mineral dan minuman teh.
Beragamnya jenis air teh kemasan juga menjadi penyebab tingginya tren penjualan pada kategori ini, tambahnya dalam konferensi pers “Kinerja Industri Minuman Tahun 2023 serta Peluang dan Tantangan Tahun 2024,” Rabu, 13 Maret. 2024 di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Sementara itu, Direktur Industri Minuman, Tembakau, dan Penyegar Kementerian Perindustrian Merrijantij Punguan Pintaria menilai, alasan mengapa air minum dalam kemasan (DWW) terus mendominasi adalah karena kebutuhan air sehari-hari selalu tersedia. Kenyamanan juga menjadi alasan tingginya angka penjualan air minum dalam kemasan kategori minuman ringan kemasan.
Selain dua faktor di atas, Merri menambahkan, minimnya air ledeng yang bisa dikonsumsi langsung membuat masyarakat Indonesia menjadikan AMDK sebagai makanan pokok sehari-hari atau pelengkap makanan olahan. Untuk saat ini, hanya daerah tertentu saja yang menyediakan air kran yang bisa langsung diminum.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center for Economic Reform (CORE), menambahkan perbaikan sektor jasa pariwisata juga mendorong penjualan minuman kemasan di Indonesia. Pasalnya, produk ini dinilai lebih nyaman dibandingkan harus membawa botol minum isi ulang.
Triyono mengatakan kinerja industri minuman kemasan akan mengalami pertumbuhan negatif sebesar 2,6 persen pada tahun 2023, kecuali lini AMDK. Meskipun tingkat penjualan secara keseluruhan meningkat sebesar 3,1 persen dari tahun 2022 ke tahun 2023, namun kinerja penjualan kategori minuman manis dalam kemasan (MBDK) mengalami penurunan khususnya pada tahun 2023.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti laju inflasi pangan yang mempengaruhi daya beli masyarakat, kenaikan harga bahan baku khususnya gula pasir, dan kondisi geopolitik yang tidak stabil sehingga menyebabkan biaya logistik meningkat. Belum lagi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok.
“Kekeringan berkepanjangan telah menurunkan produktivitas pertanian di berbagai negara sehingga berdampak pada kenaikan harga bahan baku. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga beras meningkat tajam di 179 wilayah di Indonesia,” kata Triyono.
Bahkan, Merri menyatakan industri makanan dan minuman (mamin) berkontribusi signifikan terhadap total produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Industri ini akan menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar menurut Kementerian Perindustrian pada tahun 2023.
Industri makanan dan minuman memberikan kontribusi sebesar 39,10 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) pada sektor nonmigas dan 6,55 persen terhadap PDB nasional. Berdasarkan data BPS, industri makanan dan minuman saat ini mempekerjakan sekitar 300.000 tenaga kerja di seluruh rantai pasokan.
Untuk itu, Pemerintah berjanji akan mendorong pemulihan kinerja industri melalui berbagai program, seperti restrukturisasi mesin dan peralatan, insentif pajak dan pajak super deduction, program pameran makanan dan minuman di dalam dan luar negeri, hingga transformasi industri 4.0.
Dikutip dari Antara, Kamis 14 Maret 2024, Merri menyebutkan sektor minuman ringan menyumbang penyerapan tenaga kerja hampir 53 ribu, investasi mencapai Rp7,7 triliun, dan nilai ekspor US$ 99 juta pada 2023. Data BPS 2022 mengungkap sektor manufaktur telah menyerap hingga 14,2 persen tenaga kerja di seluruh Indonesia.
Salah satu penyumbang lapangan kerja terbesar berasal dari industri makanan dan minuman. Data BPS menyebutkan jumlah pekerja di industri makanan dan minuman mencapai 4,23 persen dari jumlah pekerja di seluruh Indonesia.
Dilansir dari saluran Bisnis Becca Zone, Triyono menyatakan gerakan boikot produk Israel tidak berdampak pada industri minuman di Indonesia. “Secara keseluruhan kalau dilihat dari sisi industri, industri kita tidak terlalu terpengaruh,” kata Tri.
Ia mengungkapkan pihaknya lebih fokus menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk minuman dalam negeri. Jadi spesifik sekali, kalau industri agregat sepertinya kita lebih fokus menjaga daya beli dan bagaimana menjaga biaya operasional tetap terkendali, mungkin ke arah itu, ujarnya.
Tri juga mengatakan dampak COVID-19 masih terasa pada industri minuman ringan yang penjualannya turun hingga 50 persen. “Kita semua tahu dampak COVID-19 terhadap industri minuman sangat-sangat signifikan. Kita melihat penurunan penjualan bisa mencapai 45-50 persen,” kata Tri dalam acara tersebut.